Belum Pernah Akikah, Apakah Boleh Mengakikahkan Diri Sendiri?
Sesungguhnya akikah adalah sunah yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah), menurut pendapat mayoritas ulama, di antaranya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, para ahli fikih dari kalangan tabi’in, dan para imam di berbagai negeri. Tidak ada yang menyelisihi tentang disyariatkannya akikah, kecuali para penganut pemahaman rasionalis (ahlurra’yi), yang mengatakan bahwa akikah adalah amalan jahiliah.
Hujah (dalil) yang digunakan oleh mayoritas ulama adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa‘, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
من وُلِدَ لهُ ولدٌ فأحبَّ أن يَنسُكَ عنهُ فلينسُكْ
“Barangsiapa yang dikaruniai seorang anak, dan ia ingin menyembelih akikah untuknya, maka lakukanlah.” (HR. Abu Dawud no. 2842)
Perintah dalam hadis ini menunjukkan anjuran (bukan kewajiban).
Para sahabat dan tabi’in telah melaksanakan akikah secara terus-menerus. Abu Zinad berkata, “Akikah adalah sesuatu yang biasa dilakukan orang-orang, mereka tidak suka meninggalkannya.”
Beberapa ulama menganjurkan agar akikah disembelih pada hari ketujuh kelahiran bayi. Jika tidak memungkinkan, maka pada hari keempat belas, dan jika masih tidak memungkinkan, maka pada hari kedua puluh satu.
Dasar dari anjuran ini adalah hadis dari Samurah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كلُّ غلامٍ مرتَهَنٌ بعقيقتِهِ تذبحُ عنْهُ يومَ السَّابعِ ويُحلَقُ رأسُهُ ويُسمَّى
“Setiap anak tergadai dengan akikahnya, disembelih untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, diberi nama pada hari itu.” (HR. Abu Dawud no. 2838)
Al-Khattabi berkata, “Orang-orang berbeda pendapat mengenai makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Setiap anak tergadai dengan akikahnya.’ Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa maknanya adalah jika anak tersebut meninggal saat masih kecil dan belum diakikahi, maka ia tidak akan memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya. Pendapat lain mengatakan bahwa maknanya adalah akikah itu suatu kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan, sehingga disamakan dengan kewajiban menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai. Dan berdasarkan pendapat ini, para ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa akikah adalah wajib.”
Jika akikah disembelih sebelum atau sesudah hari ketujuh, maka akikah tersebut tetap sah karena tujuannya telah tercapai.
Dan mayoritas ulama berpendapat bahwa akikah untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan adalah satu ekor kambing. Hal ini berdasarkan hadis dari Ummu Kurz, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عن الغلامِ شاتان متكافئتان وعن الجاريةِ شاةٌ
‘’Untuk anak laki-laki, akikahnya dua ekor kambing yang sepadan; dan untuk anak perempuan, akikahnya satu ekor kambing.” (HR. Abu Dawud no. 2842)
Akikah tidak disyariatkan untuk orang tua yang telah meninggal dunia, karena seseorang yang telah mencapai usia dewasa tidak boleh diakikahi oleh orang lain. Namun, menurut beberapa ulama, ia boleh mengakikahi dirinya sendiri.
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya, “Tentang seorang pria yang diberitahu oleh ayahnya bahwa ayahnya tersebut belum mengakikahi dirinya, apakah ia boleh mengakikahi dirinya sendiri?”
Beliau menjawab, “Itu adalah tanggungan ayah.”
Kemudian beliau ditanya lagi, “Apakah ia boleh mengakikahi dirinya sendiri setelah dewasa?”
Beliau menjawab, “Saya belum pernah mendengar tentang akikah untuk orang dewasa.”
Penanya bertanya lagi, “Ayahnya dulu miskin, kemudian menjadi kaya, lalu ia ingin mengakikahi anaknya yang sudah dewasa?”
Beliau menjawab: “Saya tidak tahu, dan saya belum pernah mendengar tentang akikah untuk orang dewasa.”
Kemudian beliau (Imam Ahmad) berkata, “Dan barangsiapa yang melakukannya (akikah untuk dirinya sendiri setelah dewasa), maka itu baik. Dan sebagian ulama mewajibkannya.” (Selesai kutipan dari “Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud“, karya Ibnu Al-Qayyim, hal. 87)
Al-Hafizh Ibnu Hajar meriwayatkan dari Ar-Rafi’i, “Pendapat yang dipilih adalah jangan menunda akikah hingga anak mencapai usia balig. Jika ditunda hingga anak balig, maka gugurlah tanggungan akikah dari orang yang hendak mengakikahi anak tersebut. Namun, jika anak tersebut ingin mengakikahi dirinya sendiri, maka ia boleh melakukannya.”
Beliau (Ibnu Hajar) berkata, “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, beliau berkata, ‘Jika aku tahu bahwa aku belum diakikahi, aku akan mengakikahi diriku sendiri.’ Dan Al-Qaffal memilih pendapat ini.”
Sedangkan diriwayatkan dari Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Buwaithi, “Tidak ada akikah untuk orang yang sudah dewasa.”
Ini bukanlah pernyataan yang melarang seseorang mengakikahi dirinya sendiri, tetapi bisa jadi maksudnya adalah tidak boleh mengakikahi orang lain jika ia sudah dewasa.” (Selesai kutipan dari Fathul Bari, 9: 595)
Seseorang bertanya kepada Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah, “Ibu saya sudah meninggal dan saya ingin melaksanakan akikah untuknya. Tapi, seorang imam di Baghdad mengatakan bahwa akikah hanya untuk orang yang masih hidup. Bagaimana hukumnya menurut Islam?”
Syekh Ibnu Utsaimin menjawab, “Akikah tidak dilakukan untuk orang yang sudah meninggal. Akikah dilakukan saat bayi lahir, pada hari ketujuh. Sangat dianjurkan bagi ayah untuk mengakikahi anaknya, baik laki-laki atau perempuan. Untuk anak laki-laki, akikahnya dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan, satu ekor kambing. Akikah disembelih pada hari ketujuh, lalu sebagian dagingnya dimakan, disedekahkan, dan dihadiahkan. Boleh saja mengundang keluarga dan tetangga saat akikah, dan juga bersedekah sebagian dagingnya. Jika seseorang tidak mampu, dan hanya bisa menyembelih satu ekor kambing untuk akikah anak laki-lakinya, maka itu sudah cukup.
Para ulama berkata, ‘Jika tidak memungkinkan untuk melaksanakan akikah pada hari ketujuh, maka dapat dilakukan pada hari keempat belas. Jika masih tidak memungkinkan, maka pada hari kedua puluh satu. Jika masih tidak memungkinkan juga, maka boleh dilakukan pada hari apa pun yang diinginkan. Inilah akikah.’
Adapun bagi orang yang telah meninggal, akikah tidak dapat dilakukan untuknya. Namun, kita dapat mendoakannya agar mendapatkan rahmat dan ampunan. Doa untuknya lebih baik daripada amalan lainnya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له.
‘Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah (yang pahalanya terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.‘ (HR. Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan ‘anak saleh yang mendoakannya’, bukan ‘anak saleh yang berpuasa untuknya, salat untuknya, bersedekah untuknya, atau yang semisalnya’. Ini menunjukkan bahwa doa lebih baik daripada amalan yang dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal.
Meskipun demikian, jika seseorang menghadiahkan amalan saleh kepada orang yang telah meninggal, seperti bersedekah dengan niat untuk orang yang meninggal, salat dua rakaat dengan niat untuk orang yang meninggal, atau membaca Al-Qur’an dengan niat untuk orang yang meninggal, maka tidak ada larangan dalam hal itu. Namun, doa tetap lebih baik dari semua itu, karena itulah yang dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Selesai kutipan dari Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 14: 2)
Dan Anda boleh bersedekah untuknya (ayah Anda) dengan menyembelih hewan atau memberikan sedekah lainnya, karena sedekah untuk orang yang telah meninggal akan sampai pahalanya kepadanya berdasarkan kesepakatan para ulama.
Sehingga kesimpulan untuk permasalahan bagi orang dewasa, namun belum akikah adalah akikah tersebut bukan tanggungan orang tuanya lagi, dan ia boleh mengakikahkan dirinya sendiri. Adapun bagi yang telah meninggal dunia, maka tidak perlu mengakikahkannya.
***
Penulis: Muhammad Bimo Prasetyo
Artikel asli: https://muslim.or.id/97534-belum-pernah-akikah-apakah-boleh-mengakikahkan-diri-sendiri.html